Suara Rakyat Sebagai Hukum Tertinggi
SUARA RAKYAT SEBAGAI HUKUM
TERTINGGI
DEMI MENCIPTAKAN PELUANG KEADILAN
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Abdinur
Batubara
Sesungguhnya,
adalah rakyat yang merupakan sumber kekuasaan negara, rakyat pulalah yang
secara langsung ataupun tidak langsung menjadi pengurus atau penyelenggara
negara, dan pada akhirnya untuk kepentingan seluruh rakyat pulalah
penyelengaraan negara itu sesungguhnya dimaksudkan. (Jimly Asshiddiqie)[1]
A.
Menimbang Kedaulatan Rakyat Indonesia
Masih
ingatkah kita dengan teori Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa
dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian masyarakat (contract social) yang
diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara.
Teori ini menjadi dasar paham kedaulatan rakyat, dimana negara bersandar atas
kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-perundangan adalah
penjelmaan kemauan rakyat tersebut.[2]
Hobbes
merupakan orang pertama dalam teori perjanjian masyarakat. Menurut hobbes,
keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman, adil dan makmur. Tetapi
sebaliknya, keadaan alamiah itu merupakan suatu keadaan sosial yang kacau,
sehingga mereka mengadakan suatu ikatan sosial untuk membuat peraturan hukum.
Teori
diatas merupakan landasan filosofis indonesia sebagai negara hukum yang berkedaulatan
rakyat. Namun jika dilihat realita yang terjadi dalam proses penegakan hukum
maka sangat kontras dari yang diharapkan khususnya bagi masyarakat. Hukum tidak
lagi seimbang dimana suara rakyat tidak lagi digubris untuk dipertimbangkan
oleh penegak hukum. Kaum borjuis ataupun elit politik sudah seperti dewanya
penegak hukum karena mereka dapat mengatur hasil keputusan penegak hukum dengan
berbagai kecurangan dan intrik-intrik yang mereka lakukan. Rakyat sudah tidak
lagi diperhitungkan karena dianggap kaum lemah dan tidak memberi kesan
keuntungan dan kebergunaan bagi penegak hukum. Kesadaran hukum khususnya elit
politik seperti sudah pudar dan bahkan hilang.
Seperti
halnya dalam teori atau asas keseimbangan yang mengatakan bahwa seharusnya
kesadaran hukum itu menjadi sumber hukum.[3]
Orang disini dimaksud adalah seluruh rakyat suatu negara tanpa terkecuali
termasuk elit politik maupun pemerintahan. Asas keseimbangan bertujuan untuk
menegaskan bahwa hukum itu berlaku dimanapun, kapanpun waktunya, dan yang utama
kepada siapapun.
Kedaulatan
rakyat dan keseimbangan pada hukum merupakan makna daripada rakyat sebagai
hukum tertinggi. Namun nyatanya label kanibalisme hukum khususnya elit politik
kepada rakyat kecil menjadi kejahatan retorika hukum di indonesia. Tidak secara
keseluruhan, namun secara garis besar dan jika sudah menyangkut kepentingan
elit politik maka KANIBALISME menjadi hal yang mutlak dilakukan demi gengsi,
kekuasaan dan kerakusan. Penguasa memangsa yang dikuasa, yang dikuasa tak mampu
berbuat apa-apa bahkan seperti dikucilkan dan diacuhkan.
Menciptakan Peluang Keadilan
Kata
menciptakan peluang keadilan diatas dimaksudkan untuk meguatkan arti dari
“suara rakyat” itu sendiri. Dan kata peluang disini sebagai luapan emosional
rakyat akan pudarnya pengaruh suara rakyat pada penyelenggaraan negara
khususnya dalam bidang hukum. Konspirasi, mafia peradilan, dan nihil perasaan
keadilan menjadi penyakit yang telah mewabah pada kelangan penguasa ataupun
pemerintah dan parahnya lagi para pengusah-pengusaha kaya rayapun dapat berbuat
demikian dikarenakan kekuatan finansial yang tak terbatas yang dapat meluluh
lantahkan kewajiban dan etika para penegak hukum.
Berikut ada sebuah contoh
bukti kegelisahan dan betapa mirisnya keluhan dari rakyat kecil atau pedesaan
terkait dengan penegakan hukum di indoensia.
“Teriakan warga tidak didengar oleh yang berkuasa.
Lebih baik mengurusi pekerjaan dan mengisi perut dirumah daripada menangani
kasus ini lagi. Kami ini rakyat kecil, jadi lebih baik tinggal diam aja”[4]
Warga
desa Ayawan, Kalimantan Tengah
Penegakan
hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin di pedesaan di indonesia telah sekian
lama berjalan dengan buruk. Mekanisme penyelesaian masalah secara informal
(musyawarah, pemerintah desa atau lembaga adat) menghadapi kendala budaya hirarki
dan ketimpangan struktur kekuatan di tingkat lokal. Lembaga hukum formal –
polisi, jaksa dan pengadilan bias terhadap kekuasaan dan terasing dari
masyrakat. Akibatnya, orang miskin di
desa lebih suka
menekan masalah dan rasa ketidakadilan yang dialami daripada berupaya
memperbaiki situasinya. Inilah menjadi bukti daripada keyakinan akan peluang
keadilan yang mencemaskan bagi rakyat kecil. Sudah seharusnya filosofi bahwa
“suara rakyat sebagai hukum tertinggi” harus nyata ditegakkan.
Komentar
:
Hal
yang paling mendasar sebagai wujud daripada suara rakyat sebagai hukum
tertinggi adalah seberapa besar penguatan Rule
of Law itu dan bagaimana hal tersebut memberi peluang yang besar untuk
terciptanya keadilan bagi khalayak kecil .
negara hukum indonesia merupakan negara berkedaulatan rakyat yang
menitikberatkan pada kepetingan rakyat dalam segala hubungannya dengan proses
penyelenggaraan negara termasuk didalamnya adalah proses penegakan hukum dan
kepastian hukum yang didasarkan pada nilai kepetingan rakyat itu sendiri.
Mafia
peradilan sebagai contoh paling kejam dalam retorika proses pengadilan dalam
mengambil keputusan oleh hakim. Kelompok pengusaha, penguasa, dan pemerintah
merupakan orang-orang yang menjadi dalang dari semua ini. Mau dimana lagi letak
keadilan itu ditetapkan tanpa adanya nilai adil yang proporsional. Rakyat
kecillah yang menjadi penanggung derita ini semua terlebih jika suatu kasus
hukum itu terjerat oleh antara penguasa dengan rakyat kecil. Hal sungguh miris
terdengar, namun karakter buru k tersebut sudah mewabah khususnya bagi mereka
yang memiliki kekuatan untuk melakukan hal tersebut.
Adil
merupakan suatu yang sulit tercapai jika itu sudah dikaitkan dengan kepentingan
pribadi, dan karena adil selalu berada pada tatanan nilai kebersamaan.
Kedaulatan rakyat yang dijalankan sesuai dengan UU sendiri bahkan tidak dapat
menjamin akan kepetingan rakyat itu sendiri khususnya dalam hal keputusan hukum
oleh hakim.
Reformasi
penegak hukum total adalah solusi baik dengan dibenteng pada karakter nilai
kebangsaan yang adil dan beradab sebagai wujud dari nilai filosofi bangsa yaitu
pancasila. Mungkin butuh waktu lama untuk hal ini, namun tidak akan pernah
terjadi jika rakyat sendiri hanya diam. Butuh kerjasama, kekompakan, komitmen
kuat untuk reformasi secara keseluruhan. Namun sebagai negara yang ditopang
oleh pancasila dan UUD 1945 sebagai dua hierarki perundangan yang tinggi, maka
layaklah kita seluruh bangsa indonesia untuk tetap percaya dan teguh akan niat
serta tindakan lanjut kita demi terwujudnya nilai keadilan dalam proses
penegakan hukum dan menjamin akan kepastian hukum bagi seluruh rakyat
indonesia.
KEADILAN
HUKUM
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada Taqwa. Dan bertqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah, Ayat (5) : 8).
A.
Hakikat keadilan
Putusan pengadilan negeri serang,
banten, yang menjatuhkan hukuman delapan bulan bagi dua kuli panggul yang
mencuri bawang merah sepuluh kilogram pada tanggal 5 juli 2007 menyentak rasa
keadilan negeri ini. Bagaimana tidak pada hari yang sama di pengadilan negeri
setempat beberapa mantan anggota DPRD Provinsi Banten, yang telah dituduh
melakukan korupsi dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) tahun 2003
sebesar 14 miliar, dituntut hukuman penjara 1,5 tahun. Mereka merupakan bagian
dari 75 anggota DPRD yang tersangkut kasus korupsi RP14 Miliar. Mantan anggota
DPRD Banten yang sudah dijatuhi hukuman dalam perkara yang sama satu orang
divonis 12 bulan penjara, sedangkan empat mantan anggota DPRD lainnya, divonis
15 bulan penjara.[5]
Dengan mengamati putusan hakim tersebut,
lalu timbul pertanyaan-pertanyaan besar. “dimana dunia keadilan itu ? bagaimana
ciri atau sifat keadilan itu ! dan apa itu adil ?”
Kalau bicara tentang keadilan, rasanya
kita harus merefleksikan bahwa kita tidak tinggal sendiri di dunia ini dan kita
dituntun untuk berfikir agar tidak mengabaikan tanggung jawab kepada yang lain.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya
keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatannya. Idealnya, hukum
memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim memang resultante dari
ketiganya. Ulpianus (200 M), mengatakan keadilan adalah kehendak yang ajeg
(terpola) dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (iustitia est constans et prepetua voluntas
ius suum cuique tribuendi).[6]
B.
Keadilan dan Kepastian Hukum
“What
are states without justice but robber-bands enlarged? : suatu negara yang
tidak mencerminkan keadilan tidak usah menyebut dirinya negara !” (Aurelius
Augustinus)[7]
Hukum itu sendiri harus
memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu sendiri hanya bisa
dimilikinya bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur
konsistensi. Penyelenggaraan yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat
mau mengandalkannya sebagai perangkat kaidah yang mengatur kehidupan bersama.
Konsistensi dalam penyelenggaraan hukum itulah yang kita sebut kepastian hukum.
Konsistensi itu diperlukan sebagai acuan bagi perilaku manusia sehari-hari
dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Acuan perilaku itu diperlukan, karena
manusia tidak hidup berdasarkan naluri alamiah, melainkan terutama berdasarkan
akal yang membuat keputusan melalui kehendak yang bebas. Persoalan umum yang
langsung kita hadapi adalah bagaimanakah kepastian hukum itu menampilkan diri
di hadapan masyarakat ? pada umumnya, sederhana saja, kepastian hukum itu harus
memiliki bobot yang formal maupun yang material. Karena masyarakat biasanya
mempunyai perasaan cukup peka terhadap ketidakadilan, kepastian hukum itu juga
mempunyai kinerja yang dapat diamati oleh masyarakat. Kinerja yang formal
dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama
terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum.
Berbeda dengan
kepastian hukum formal yang diperoleh terutama melalui kinerjanya, kepastian
hukum yang material dihasilkan oleh rasa keadilan yang proporsional yang
mengemuka manakala perilaku yang menyimpang dari norma hukum dengan bobot yang
berbeda-beda mempertoleh penilaian. Penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada
dua komponen utama : kepastian dalam
orientasi bagi masyarakat dan kepastian dalam penerapan hukum oleh
penegak hukum. Untuk sebiah kepastian hukum yang adil, ada dua prinsip prinsip
keadilan agar tidak mencederai rasa keadilan dalam masyrakat. Kedua prinsip
keadilan dalam penerapan hukum itu adalah prinsip daya laku hukum yang umum
serta prinsip kesamaan dihadapan hukum. Prinsip keadilan yang pertama
menyaratkan bahwa suatu kaidah hukum yang diberlakukan sebagai hukum positif
akan menjangkau setiap dan semua orang dalam jangkauan yurisdiksi hukum
tersbut, tanpa kecuali. Prinsip keadilan yang kedua menyaratkan
bahwa semua dan setiap warga negara berkedudukan
sama di hadapan hakim yang harus menerapkan hukum. Berikut terdapat dua aspek
hukum keadilan sebagai wujud dari penegakan kepastian hukum oleh penegak hukum
yang adil.
Aspek-aspek keadilan[8] :
- Partinensi keadilan
Seorang pemikir jerman dizaman kita,
Reinhold Zippelius yang guru besar dalam filsafat hukum dan hukumtatanegara di
universitas Erlangen mengadakan pembedaan aspek keadilan yang lebih jauh yang
mencakup lima pertinensi. Iustitia
Commutativa yang menurutnya terjadi apabila warga masyarakat melakukan
transaksi konstaktual, dihadapkannya pada ausgleichhende
Gerechtigkeit, yaitu keadilan yang terjadi pada suatu pemulihan dari keadan
cidera hak, misalnya manakala dilakukan tindakan ganti rugi kepada penderita
yang mengalami perlakuan yang telah merugikannya. Sedangkan iustitia distribution dinyatakannya
sebagai berlaku dalam hukum perdata, terutama dibidang hukum kebendaan maupun
hukum keluarga. Jika ada orang yang memecahkan jambang bunga di toko, dia akan
harus mengganti harganya, tidak peduli apakah dia hartawan atau orang gembel.
Kadilan distributif juga sangat menonjol dalam bidang hukum waris. Perlu
dikemukakan bahwa untuk hart yang bertradisi inggris, iustitia distribution itu relevan justru dalam kerangka keadilan
sosial, karena langsung bertautan dengan “public good”, yang oleh Llyod
didefenisikan sebagai “the greatest happiness of the greatest number”.
- Rasa keadilan
Setiap masyarakat memiliki suatu
perasaan keadilan yang relatif merata. Persoalannya adalah dalam
masyarakat-masyarakat yang sedang kacau, rasa keadilan itu mengalami distorsi,
sehingga apa yang dianggap adil oleh yang satu dianggap tidak adil oleh yang
lain, dan sebaliknya.
Zippelius antara lain
menggunakan pendekatan sosiobiologi untuk menerangkan adanya instansi moral
dasar pada manusia mengenai rasa keadilan itu, sebagaimana diperlihatkan
melalui contoh-contoh, seperti kasih ibu, pantangan inses, penolakan terhadap
kebiasaan perilaku yang menyesatkan, rasa hormat kepada yang lebih tua, dan
sebagainya. Sementatara itu, Kelsen memberikan dua arti kepada perasaan
keadilan. Pertama, sebagai sikap batin yang menghendaki perlakuan adil dan
tidak menghendaki perlakuan yang tidak adil. Kedua, sikap
batin yang terlepas dari hukum positif yang menerima
perlakuan adil atau menolak perlakuan yang tidak adil.[9]
Rasa keadilan adalah
senantiasa raltif sifatnya. Kenyataan itu terutama karena rasa keadilan tidak
terlepas dari keterlibatan pribadi dari sang subjek hukum, sedangkan sebagai
pribadi, manusia senantiasa mendapatkan dirinya berada dalam suatu kerangka
tata nilai, baik tata nilai yang diperolehnya sejak lahir, maupun tata nilai
yang diperolehnya karena belajar. Rasa keadilan yang seperti itu sukar
diterapkan dan diberlakukan secara umum, karena setiap orang memiliki perasaan
subyektif yang membedakan hal yang adil dari yang tidak adil.
Dalam peroses penegakan
hukum, menurut Zippelius : hakim dapat memainkan peranan besar dalam
mempertegas dan juga membakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dia cerminkan
dalam keputusan-keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim
yang mengacu kepada pengertian-pengertian serta aturan-aturan yang baku dengan
cara demikian dapat dipahami oleh masyarakat, yang pada giliran berikutnya
berpeluang untuk ikut menghayati rasa keadilan yang dirumuskan oleh hakim itu
dalam keputusannya.
Rasa keadilan yang
diketengahkan oleh hakim lalu dapat menjadi rasa keadilan yang juga dirasakan
oleh masyarakat. Sebenarnya, rasa keadilan yang merata itulah yang menjadi soko
guru dari konsep The Rule of Law. Sebaliknya, jika terdapat
kesenjangan yang berarti antara rasa keadilan yang hidup dalam diri hakim dan
rasa keadilan yang dipahami oleh masyarakat, teradapat juga resiko bahwa
kepercayaan masyarakat kepada hakim berkurang. Dan karena dalam masyarakat yang
berlaku kepercayaan umum bahwa hakim adalah lambang dan benteng dari hukum yang
harus dihormati demi kepentingan mereka sendiri, timbul juga resiko bahwa
masyarakat akan mengabaikan hukum. Semakin besar kesenjangan antara rasa
keadilan hakim dan rasa keadilan masyarakat, semakin besar juga tingkat
ketidakpedulian masyarakat kepada hukum. Dan itu jugalah sumber dari
berkembangnya kebiasaan untuk main hakim sendiri yang pada akhirnya akan
bermuara dalam anarki. Padahal, salah satu misi utama dari politik melalui
pelaksanaan hukum adalah justru menghindarkan timbulnya anarki.
Lunturnya Nilai Keadilan Dengan Adanya Mafia
Peradilan
Saat itu, bagaikan
halilintar ditengah bolong, media menyiarkan berita dugaan suap atas jaksa Urip
Tri Gunawan (UTG) dan pengusaha Artalyta Suryani (AS) yang tertangkap basah
membawa uang 660.000 dollar AS dari rumah AS di Jakarta Selatan beberapa waktu
lalu. Padahal, jaksa penuntut umum UTG adala satu dari 35 anggota tim jaksa
BLBI yang dianggap
terbaik di nusantara ini. Sunguh skandal yang
menghebohkan sekaligus menohok lembaga kejaksaan dan pemerintahan RI dibawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).[10]
Hal-hal semacam ini
merupakan kelemahan tatanan hukum indonesia yang mengakibatkan lunturnya nilai
keadilan. Tudingan akan “mafia peradilan” sudah tersemat dalam pundak hukum
indonesia. Seringkali pimpinan MA menolak digunakannya “Mafia Peradilan” karena
bukan termasuk kategori kejahatan terorganisasi. Apapun namanya, bagi
masyarakat khususnya para pencari keadilan, itu tidak penting. Yang penting,
ditegakkannya hukum dan keadilan bagi masyarakat karena kepada siapa lagi para
pencari keadilan jika bukan keoada lembaga peradilan.
Mari kita lihat :
Kejamnya Keadilan "Sandal Jepit"....[11]
Kompas : Jumat, 6
Januari 2012 | 09:44 WIB
Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil
yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan
lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat
kecil yang biasa hidup melarat.
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas
yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang
harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya
ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000
untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup
jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang
menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di
hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL
terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal
merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor
9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah
sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai
barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin
dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu
kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada
orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang
milik orang lain.
Komentar :
Ini membuktikan betapa
sulitnya mendapatkan nilai adil dinegeri indonesia khususnya dalam penegakan
hukum diantara rakyat kecil dengan penguasa/pemerintah. Prinsip Rule of Law dikatakan gagal jika
realitanya adalah mafia peradilan dan ketidakadilan di dalam hukum. Lunturnya
kadilan menjadi pertanda akan kegagalan tatanan hukum yang profesional dimana
penegakan hukum sudah tidak lagi memiliki rasa keadilan bahkan hakim sendiri
dapat dikonspirasi oleh khalayak borjuis atau pengusaha ataupun penguasa.
Kemunduran ini sebagai
dampak dari tertutupnya perhatian rakyat pada hak dan kewajiaban beraspirasi
dalam proses pelaksanaan negara. Pengetahuan yang kurang dan tidak pedulinya
pemerintah sendiri untuk turut mengembangkan pengetahuan rakyat itu sendiri
menjadi faktor penyebab kegagalan-kegagalan dalam perjalanan hukum indonesia.
Pendidikan hukum sangatlah minim bahkan hanya didapay oleh sebagian besar dari
mahasiswa namun tetap saja kontras dari implikasinya.
Pendidikan generasi
muda dengan orientasikan pendidikan hukum dapat menjadi solusi atas negara
hukum kita ini. Salah satu daripada disiplin ilmu pendidikan yang sangatlah layak
untuk mengembangkan kepribadian yang kuat atas hukum adalah Pendidikan
Kewarganegaraan.
KAJIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MENGENAI BESARNYA PENGARUH SUARA RAKYAT
Negara bukanlah institusi yang kebal hukum, negara
dapat dipersalahkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum. Rule Of Law mengandung asas Dignity of Man yang harus dilindungi
dari tindakan sewenang-wenang pemerintah/penguasa (Oemar Seno Adji, 1980). Inti
dari Rule of Law adalah terciptanya
tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana rakyat bisa
memperoleh kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan dijamin hak-hak
asasinya.[12]
Dari judul pada sub bab
ini, jelaslah bahwa pengaruh suara rakyat merupakan bagian dari pengetahuan
rakyat terhadap hukum. Dan disini Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu
disiplin ilmu kepribadian kewarganegaraan bertujuan untuk meningkatkan Civic
Knowledge masyarakat pada hukum itu sendiri. Dikatakan pengetahuan
kewarganegaraan karena rakyat harus terlebih dahulu tahu akan peran mereka
sebagai pemegang kedaulatan negara dan dalam kaitannya dengan proses penegakan
hukum.
Didalam PKn sendiri ada
beberapa isi dari civic knowledge yang mebuktikan bahwa warga negara juga
diperluakan pengetahuan akan hukum dan apa kedudukannya didalam hukum. Berikut
beberapa pengetahuan yang diperlukan oleh warga negara :
1.
Apa kehidupan
kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan
2.
Apa dasar sistem
politik indonesia
3.
Bagaimana
pemerintah yang dibentuk oleh UUD 1945 menjebatani nilai-nilai, tujuan-tujuan
dan prinsip-prinsip demokrasi indonesia
4.
Bagaimana
hubungan indonesia dengan negara lain dan posisinya mengenai masalah-masalah internasional
5.
Apa peran warga
negara dalam demokrasi indonesia[13]
Dari kelima isi civic
knowledge tersebut, bagian ketiga tentang bagaimana pemerintahan yang didirikan
berdasarkan konstitusi mengejawantahkan tujuan, nilai, dan prinsip demokrasi
indonesia bermaknakan bahwa warga negara harus mengetahui dan memahami bahwa
pemerintah didirikan terbatas, serta penyebaran dan pembagian kekuasaan
yang dilakukan. Warga negara yang memahami
dasar-dasar justifikasi sistem pembatasan, penyebaran, dan pembagian kekuasaan
serta maksudnya ini, lebih mampu menjaga pemerintahan mereka baik di tingkat
lokal, daerah, maupun nasional bertanggung jawab dan memastikan bahwa hak-hak
individu dilindungi. Mereka juga akan mengembangkan penghargaan terhadap
kedudukan hukum dalam sistem politik indonesia, sebagai suatu kesempatan yang
tidak ada bandingnya untuk memilih dan berpartisipasi warga negara yang
dimungkinkan oleh sistem.
Dari penjelasan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya PKn sebagai pendidikan wajib di
sekolah indonesia telah mengisyaratkan bahwa warga negara berperan dalam sistem
politik indonesia dan juga terkait dengan kedudukannya yang sama didepan hukum
serta partisipasinya sebagai faktor penegakan hukum yang adil di negara Rule Of Law nya indonesia. Hal ini
diperkuat dengan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”[14]
Selanjutnya dalam
komentar Jimly Asshiddiqie, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Sesuai dengan prinsip due
process of law dan equality before the law, keadilan harus pasti dan
sekaligus kepastian haruslah adil.
Komentar
:
Peran warga negara
dalam sistem politik serta pengaruhnya sebagai faktor yang memengaruhi penegakan
hukum menjadi bukti bahwa suara rakyat sebenarnya telah menjadi kedaulatan bagi
negara indonesia khususnya dalam proses penegakan hukum dan dalam keputusannya
hukum haruslah sesuai dengan nilai-nilai kebutuhan rakyat sebagai upaya
terwujudnya nilai keadilan secara umum. Semua ini seharunya dipahami oleh
seluruh rakyat indonesia agar pemahaman tersebut menjadi modal pengetahuan
yang penting bagi seluruh rakyat untuk
turut serta andil dalam proses penyelenggaraan negara terkait dengan penegakan
hukum.
Pendidikan kewarganegaraan secara disiplin ilmu,
merupakan ilmu pendidikan yang juga mendidik warga negara untuk mengetahui haknya
di depan hukum, haknya sebagai terhadap kesenjangan hukum, dan lebih khusus
lagi haknya untuk diperlakukan sama dan mendapat kepastian hukum yang adil.
Baca !!!
PASSWORD FILE MATERI 3 PANCASILA MKU
PASSWORD : antropologi
[1] Komentar kedaulatan negara
indonesia oleh Jimly Asshiddiqie, 2009, komentar
atas undang-undang dasar negara kesatuan republik indonesia, Jakarta :
Sinar Grafika, hlm : 10.
[2] Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi
Pustakarya, hlm : 151.
[3] Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi
Pustakarya, hlm : 153.
[4] Dikutip dari buku Bank Dunia
(The World Bank), 2004, Menciptakan
Peluang Keadilan, hlm : I-2.
[5] Muhamad erwin, 2011, Filsafat Hukum (Refleksi Kritis Terhadap
Hukum), Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada, hlm : 218.
[6] Muhamad erwin, 2011, Filsafat Hukum (Refleksi Kritis Terhadap
Hukum), Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada, hlm : 219.
[7] Budiono kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil, Jakarta : Pt Gramedia,
hlm : 127.
[8] Budiono kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil, Jakarta : Pt
Gramedia, hlm : 138-145.
[9] Kutipan dari buku Zippelius,
1982: hlm, 129, dan Kelsen, Op, Cit., hlm, 426-427, dalam buku Budiono
kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil,
Jakarta : Pt Gramedia, hlm 141-142.
[10] Frans H. Winarta, 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta :
PT Kompas Media Nusantara, hlm : 330.
[11]Ringkasan berita yang dimuat dari
KOMPAS, Diakses dari :
Senin, 16-November-2015, 10.24.
[12] Frans H. Winarta, 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta :
PT Kompas Media Nusantara, hlm : 390-391.
[13] Winarno, 2013, Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(isi, strategi dan penilaian), Jakarta : Bumi aksara, hlm : 111.
[14] Isi dari Pasal 28D UUD 1945
dalam buku Jimly Asshiddiqie, 2009, komentar
atas undang-undang dasar negara kesatuan republik indonesia, Jakarta :
Sinar Grafika, hlm : 117.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
Asshiddiqie,
J. 2009. komentar atas undang-undang
dasar negara kesatuan republik indonesia. Jakarta : Sinar Grafika
Bank
Dunia (The World Bank). 2004. Menciptakan
Peluang Keadilan
Erwin,
M. 2011. Filsafat Hukum (Refleksi Kritis
Terhadap Hukum). Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada
Kusumohamidjojo,
B. 1999. Ketertiban Yang Adil. Jakarta
: Pt Gramedia
Tutik,
T, T. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta.
Prestasi Pustakarya
Winarno.
2013. Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (isi. strategi dan penilaian). Jakarta : Bumi aksara. hlm :
111
Winarta,
Frans H.. 2009. Suara Rakyat Hukum
Tertinggi. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara
Internet :
Ringkasan berita yang
dimuat dari KOMPAS. Diakses dari :
Senin. 16-November-2015. 10.24.
Comments
Post a Comment