Pendidikan Politik dalam Retorika Media Massa





Terlalu mudahnya masyarakat jatuh kepada apatisme, sehingga mereka memilih kehidupan pragmatis, hedonistis, tak memerlukan pemikiran yang kuat dan kerja keras. Sementara politik memerlukan pemikiran yang kuat dan 
memerlukan kerja keras
Idrus Affandi, Guru Besar UPI

Civil society pada dasarnya hanya dapat diwujudkan melalui kaidah hukum yang menjamin hak warga negara diruang publik, termasuk dalam menghadapi informasi publik. Maka di dalam ruang publik PERS adalah media yang berfungsi secara imperatif kepada masyarakat sebagai media informasi publik dalam dimensi politik, ekonomi, dan kultural.                                                                                                                           
Indonesia sebagai negara yang menggagas Civil Society, sudah seharusnya menjadikan Pers sebagai wadah untuk meningkatkan hegemoni negara demokratis yang menitilberatkan pada keterbukaan publik. Proses inilah yang dinamakan sebagai pendidikan politik yang berorientasikan pada imperatif Pers sebagai wadah melek politik. Namun pertanyaan besarnya adalah apakah masyarakat indonesia sudah melek politik ?


Literasi Indonesia Sangat Rendah

Senin, 15 Desember 2014, 14:00 WIB
Koran Republika, diakses dari :
http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/12/15/ngm3g840-literasi-indonesia-sangat-rendah
Ringkasnya : Budaya literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia Satria Darma mengatakan, berdasarkan survei banyak lembaga internasional, budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara lain di dunia.
"Ironisnya, banyak guru dan birokrat pendidikan termasuk pejabat belum paham juga apa itu literasi," ujarnya saat menjadi pembicara di sebuah seminar di Jogja Expo Center, Ahad (14/12).
Satria mengatakan, hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.
data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. 
Kondisi Literasi di Indonesia :          
à   Literasi, Indonesia urutan 64 dari 65 negara, dimana Tingkat membaca siswa, Indonesia urutan ke 57 dari 65 negara (PISA, 2010)
à    Indeks minat baca : 0,001 (setiap 1.000 penduduk hanya satu yang membaca)
à    Tingkat melek huruf orang dewasa : 65,5 persen (UNESCO, 2012) 
Dari data diatas, maka dapat disimpulkan betapa akan sangat sulitnya negara kita Indonesia menuju reformasi melek politik jika dengan keadaan demikian masih konsisten. Melek politik yang rendah terutama melek terhadap fungsi media massa akan semakin membuat indonesia sebagai bangsa listening bukan bangsa reading, creating, and wise nation.
Padahal dalam retorikanya, peran media massa untuk menjebatani informasi kebijakan pemerintah sangatlah besar. Karena di era kontemporer bahwa peran media massa untuk menggubris aktualisasi pemerintah sudah semakin besar pengaruhnya. Dan dalam hal inilah seharusnya masyarakat turut andil dengan membaca, menganalisa, dan bersumbangsi hingga masyarakat indonesia menjadi bangsa yang melek politik.

Media massa bagiakan cermin bagi suatu negara, yang akan mengindahkan sekaligus memburukkan


Abdinur Batubara

A.  Retorika Media Massa Sebagai Pendidikan Politik

Berbicara tentang seni perspektif media massa pada politik, maka dapatlah dikatakan bahwa media massa berperan besar dalam mendidik pemahaman politik masyarakat. Karena melalui media massa pula masyarakat akan peka pada proses politik. Akan menjadi sempurna suatu negara jika adanya simbiosis antara pemerintah dengan rakyatnya dalam menanggulangi permasalahan politik negaranya itu sendiri. Nah, dalam hal inipula masyarakat bersumbangsi untuk memberikan aspirasi politiknya di dalam media massa.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.”
Pasal 28F, UUD 1945
Kerangka teoritis yang menyangkut tentang peran media massa untuk menjelaskan fenomena atau sebuah peristiwa peristiwa politik seperti Media Massa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan pesan. Menurut Mulyana (1999: teoridampak sosial komunikasi massa terdiri dari dua bagian yakni lisan dan tertulis). Berdasarkan pada pemahaman itu menjadi penting ditelusuri dan bahan penelitian terkait peran media massa pada era demokratisasi (keterbukaan) saat ini Media massa menjadi penting karena memang memiliki kekuatan. Bukan sekedar mampu menyampaikan pesan kepada khalayak tetapi lebih karena media menjalankan fungsi mendidik, mempengaruhi, menginformasikan dan menghibur.
Dengan fungsi demikian, maka media massa memiliki potensi untuk membangkitkan kesadaran mengubah sikap, pendapat atau persepsi masyarakat tertahadap suatu hal. Persepsi masyarakat karena pengaruh pemberitaan media massa, dapat berubah menjadi positif maupun negatif bergantung bagaimana pikiran yang terbentuk dibenak masyarakat setelah mendapat informasi mengenai hal tertentu.
 Media massa memiliki kekuatan yang sangat signifikan dalam komunikasi politik untuk mempengaruhi khalayak. Terlebih lagi media massa presitisius baik pada tingkat nasional atau lokal yang biasanya menjadi rujukan publik dalam berperilaku politik Apalagi, media prestisius dipercaya oleh khalayak. Bahwa media apapun kategorinya berfungsi sebagai alat pelipatganda pesan (multiflier of messages) yang berkaitan dengan saluran lainnya (Dan Nimmo 2000). Alhasil pencitraan atau gambaran yang diberikan oleh media mengenai kekuatan-kekuatan politik yang akan memberi dampak yang signifikan serta menyebar dan menjangkau khalayak yang sangat banyak. Persepsi adalah inti komunikasi. Persepsi disebut inti komunikasi karena jika persepsi seseorang tidak akurat, tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif.

B.  Melek Politik dengan Media Massa

Salah satu fokus kajian dalam "teori komunikasi kritis" atau "teori media kritis" adalah, siapa yang mengontrol media massa, karena media massa dapat membuat agenda politik sesuai dengan ideologinya masing masing yang dapat menguntungkan atau merugikan kekuatan politik ter-tentu, melalui berita dan opini yang disajikan kepada khalayak. Selain itu media massa memiliki kekuatan memengaruhi dalam proses komunikasi politik terutama dalam pembentukan citra dan opini publik.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa agenda politik media massa sangat tergantung kepada siapa yang mengontrol atau memilihnya, sesuai dengan sistem politik setiap negara. Pada hakikatnya pen dalian agenda politik media massa dapat berasal dari dunia politik atau dunia ekonomi (DeFleur/Dennis,1985:106-150). Hal itu dapat dikaji dan karya Anwar Arifin (2010) berjudul, Pers dan Dinamika Politik Analisis Media Komunikasi Politik Indonesia, dan hasil studi Ibnu Hamad (2004) Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Persoalan yang paling esensial dalam komunikasi politik adalah bagaimana para politikus dan aktivis memanfaatkan media massa membentuk citra dan opini Publik yang positif bagi partai politik atau lembaganya serta aktivitasnya dalam masyarakat sebagai pekerja politik atau aktivis yang peduli politi Dalam komunikasi politik mekanistis, politikus dan aktivis itudisebut sebagai komunikator politik oleh Dan Nimmo (1999: 30-3) adalah pekerja politik yang melakukan aktivitas politik baik dalam pemerintahan (presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati) maupun di luar atau di dalam parlemen (DPR dan DPRD) Sedang aktivis adalah para penggiat atau pemimpin organisasi masyarakat yang memiliki perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan politik (demokrasi politik) Politikus dan aktivis harus melaksanakan komunikasi politik untuk memperoleh dukungan massa atau dukungan pendapat umum.
Telah dijelaskan bahwa dalam teori media kritis persoalan pokok dalam komunikasi politik ialah siapa yang mengontrol media massa? Hal itulah yang dihadapi para politikus dalam penggunaan media massa dan sejauh mana ia dapat mengontrol dan memanfaatkan media massa itu?
Citra politik tidak dapat dipisahkan dengan sosialisasi politik, karena citra politik terbentuk melalui proses pembelajaran dan pendidikan politik, baik secara langsung maupun melalui pengalaman empirik Citra politik mencakup beberapa hal yaitu :[1]
  1. seluruh pengetahuan politik seseorang (kognisi), baik benar maupun keliru
  2. semua (referensi (afeksi) yang melekat kepada tahap tertentu dari peristiwa politik yang menarik
  3. semua pengharapan (konasi) yang dimiliki orang tentang apa yang terjadi jika ia berperilaku dengan cara berganti-ganti terhadap objek dalam situasi itu.
  4. Sosialisasi politik menurut Hyman (959) adalah proses belajar yang terus-menerus, baik secara emosional ataupun indoktrinasi politik yang manifes dan di media oleh segala partisipasi seseorang dan pengalaman seseorang yang menjalaninya.
Melalui pengalaman sosialisasi politik itu seseorang mengembangkan kepercayaan, nilai dan pengharapan yang relevan dengan politik. Pada dasarnya segala bentuk aplikasi komunikasi politik secara otomatis sudah berfungsi sosialisasi politik yang dilakukan oleh komunikator politik, termasuk oleh partai politik. Media massa memang memiliki banyak aspek yang nya penting dalam kehidupan politik. Salah satu media massaitu adalah daya jangkaunya (coverage) yang sangat luas dalam menyebarluaskan berita dan opini politik dengan dukungan teknologi yang canggih.
Selain itu media massa juga mampu melipat gandakan pesan politik (multiplier of message) dengan jumlah yang besar, dan sekaligus menciptakan wacana politik pada khalayaknya, dalam menjalankan fungsinya sebagai Agenda setter. Pesan yang disalurkan itu telah dikemas melalui proses fram-ing serta berfungsi sebagai agenda setter. Demikian juga opini dan pemberitaan politik oleh satu jenis media massa lazimnya berkaitan dengan mediamassa yang lain sehingga membentuk rantaiinformasi (media as links imother chains), yang menambah kekuatan pada dampaknya terutama dalampembentukan opini Publik Suwardi dalam Hamad, 2004 xii-xiv).

Solusi :

Budaya politik dan komunikasi indonesia : Budaya Melek Media Massa

Suatu budaya tidak akan pernah terlestari dan konsisten jika eksistensi masih pada kebiasaan mengikut-ikuti atau hanya menyerap dan bahkan malas berkreasi.
Masyarakat indonesia bagaikan sebuah spon bukan sebuah air sungai. Jika dengan spon maka yang ada hanyalah menyerap saja. Namun jika bagaikan air sungai maka ia akan mengalir dengan sendiri.
Abdinur Batubara
Maka bagaimana saja dengan makna analogi diatas untuk menghadapi permasalahan surutnya budaya membaca dan menulis. Hingga bagaimana saja pengaruhnya terhadap melek politik bangsa indonesia, maka akan saya coba analisis dari beberapa segi solusi di bawah ini.

Melek Media 

Untuk menjadi penonton yang cerdas atau untuk memiliki kemampuan melek media memang hal yang sulit, tapi hal yang sulit itu akan sangat berguna bagi kita yang selalu membutuhkan informasi dan hiburan dari media massa. Jangan mau dibodohi jadilah penonton,  pendengar dan pembaca yang cerdas dengan keadaan pers Indonesia yang bebas dan kebablasan ini. Maka anda bisa menyetir kehidupan anda dengan bijak.
 Maka orang yang bijak adalah orang yang peduli dan aktif dalam perkembangan politik lewat media. Bukan hanya pendengar dan bukan hanya penonton manis tetapi turut bersumbangsi dengan kritis.

Aktif Berpartisipasi dalam Media Massa

   Bagi publik sejatinya media massa sudah menjadi badan pengawasan bagi  para perwakilan rakyat. Sebagai wada informasi mengenai segala aktivitas politik. Karena melalui media massa mayoritas masyarakat akan lebih mengetahui lebih luas informasi tentang politik.[2]
Bahkan sebenarnya bagi publik, media massa tidak hanya sebagai sumber informasi, namun juga dalam konteks momentum politik. Baik yang terkait dengan politik praktis maupun yang bersifat wacana atau pencerahan, dapat menjadi rujukan informasi. Lewat media, publik mengetahui gagasan-gagasan politik partai, kandidat pemimpinnya, sampai dinamika yang terjadi di lembaga-lembaga politik.    
Pencari berita merupakan subjek aktif yang dapat menjadi mitra dan atau menjalin kedekatan dengan para pengambil kebijakan atau mereka yang punya kepentingan politik. Kedekatan para pewarta berita ini sedikit banyak akan sangat memengaruhi terhadap apa yang akan diinformasikannya kepada publik. Disinilah media massa dikatakan menjadi bagian penting dalam menyuarakan kepentingan politik.

Memaksimalkan peran media internet

Sudah selayaknya  masyarakat peka akan perkembangan teknologi, karena media massa pun sudah bertransformasi ke media massa digital. Artinya media massa sudah memiliki web media massa masing-masing yang siap untuk menjadi wadah penyalur aspirasi politik masyarakat.
Selain itu pendidikan IT juga harus ditingkatkan dan juga nilai-nilai etika berselancar dalam internet juga layak ditingkatkan demi kelayakan yang utuh untuk berselancar di dunia maya khususnya dalam media dalam proses komunikasi politik.
 Dengan keadaan-keadaan yang demikian maka budaya melek politk akan semakin berkembang. Permasalahan 0,001 rata-rata peminat membaca masyarakat indonesia akan meningkat bahkan target mencapai 0,50 dari 1000 orang.


[1] Roni Tabroni, 2012, Komunikasi Politik pada Era Multimedia, Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Hlm.100. 
[2] Anwar Arifin, 2011, Komunikasi Politik (Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi dan komunikasi Politik Indonesia), Yogyakarta : Graha Ilmu. Hlm.181.

Comments

Popular posts from this blog

Pendidikan Geografi dan Pendidikan Kewarganegaraan di PORTUGAL : Tantangan di Abad 21

Manajemen Pendidikan Dalam Perspektif Pedagogik